Fenomena QRIS di Cafe dan Restoran: Solusi atau Masalah?

Last Updated on 3 months by Mas Herdi

Seperti beberapa postingan saya sebelumnya tentang digitalisasi pembayaran di Indonesia, mulai dari dompet digital hingga bank digital. Ada satu fenomena lagi yang ingin saya sorot, yaitu penggunaan QRIS yang latah ada dimana-mana, hingga bukannya memudahkan tapi malah menyulitkan. Contohnya banyak di cafe-cafe GEN-Z. Seperti apa bentuknya? Mari kita simak.

Latah QRIS di Cafe-cafe dan Restoran

Scan QRIS Untuk Lihat Menu

a close up shot of a person scanning a qr code
Photo by iMin Technology on Pexels.com

Hal yang pertama kentara adalah scan QRIS untuk melihat menu, ini adalah salah satu hal yang saya benci. Karena hanya untuk melihat menu yang seharusnya lumayan simpel, digantikan dengan harus scan QRIS terlebih dahulu yang mana mempunyai lebih banyak tahapan. Seperti kita harus mengeluarkan HP, buka kamera, ngepasin kamera ke QR Code nya, kemudian klik link nya, nunggu loading browser sampai menu-nya benar2 selesai muncul.

Tidak hanya itu saja, setelah menunya muncul kita dipaksa untuk melihat nama makanan dan harga di layar HP yang kecil dibandingkan menu fisik atau buku menu. Maka kita harus zoom sana sini, kemudian swipe untuk berganti halaman. Belum kalau menunya ada banyak, dan kita mau coba mengingat makanan yang sebelumnya sudah dilihat. Kita harus repot cari-cari dan buka menu lagi mulai dari halaman awal. Dimana kalau menunya berupa buku fisik kita bisa dengan mudah tandai saja halamannya dengan jari.

Belum lagi jika web-nya error, koneksi error, atau loadingnya lama. QR code nya kucel, kamera kotor, dan lain sebagainya. Hal ini menimbulkan banyak sekali masalah dibanding hanya tinggal memberikan buku menu fisik.

Solusinya gimana? Kalau saya, saya akan langsung meminta menu fisik ketika makan di cafe atau resto yang mengharuskan scan QR. Biasanya menu fisik akan langsung diberikan, atau menu fisik diberikan tapi harganya belum diupdate. Atau benar-benar tidak ada menu fisik. Kalau tidak ada menu fisik sama sekali maka saya akan coba cari menu dari banner atau display yang terpampang. Jika tidak ada banner atau display menu juga, saya rasa cafe atau resto ini tidak niat jualan dan saya akan keluar cari resto/cafe lainnya.

Pesan Makanan Harus Lewat App/Web

white samsung android smartphone beside green apple fruit

Kadang tidak hanya scan menu saja, tapi bahkan pemesanan diharuskan lewat QR atau lewat aplikasi, saya lantas bingung karena posisi sudah datang dine-in di restoran atau cafe. Tapi disuruh pesan lewat aplikasi? Bagaimana jika tidak bawa HP atau HP-nya baterai-nya drop. Belum juga kualitas aplikasi-nya yang kadang suka nge-bug, error dan sebagainya. Saya pernah kena double order di restoran HAKA Dimsum karena sistem aplikasinya yang error, begitu saya sadar kalau makanan yang dipesan datang dua kali. Saya langsung menghampiri kasir dan setelah dicek ternyata benar terjadi double order, ada dua order yang menunya sama persis atas nama saya. Untungnya saat itu order yang kedobel masih bisa dicancel.

Kadang saya heran, saya nya ada di tempat. Mas-mas atau mbak-mbak pramusaji resto juga ada di tempat. Apakah tidak bisa pesan dengan cara ngomong langsung saja? Ngomong komunikasi dua arah untuk pesan makanan. Lebih cepat, simpel dan ga ribet.

Makanya inilah yang dinamakan LATAH, semua pingin serba QRIS, serba lewat aplikasi, lewat web, yang malah membuat lebih ribet. Apabila sudah ada proses yang efisien dan efektif seperti bilang langsung, ngapain mengganti proses itu dengan QRIS, Web, aplikasi dan segala macam yang lebih ribet.

Bayar Cashless Only

a person using mobile phone to pay cashless
Photo by Karolina Kaboompics on Pexels.com

Walaupun saya sendiri juga sekarang lebih sering bayar dengan cara cashless, scan QR atau gesek kartu. Namun saya menilai restoran atau cafe yang memampang tanda cashless only itu seakan membeda-bedakan atau membuat sekat. Kalau misal ada orang yang lebih nyaman dengan bayar cash kenapa tidak? Toh sama-sama cash, uang yang bisa dipakai lagi untuk alat pembayaran. Jika hal ini terjadi pada saat pandemi covid saya masih bisa maklum dikarenakan ada virus yang mungkin menyebar lewat lembaran uang. Tapi covid sekarang sudah selesai, apa urgensinya untuk resto-resto dan cafe-cafe yang hanya menerima pembayaran cashless only? Alasannya hanyalah karena ownernya sombong, malas dan pingin dibilang sok paling maju atau progresif. Padahal dalam hal berbisnis kita tidak boleh membeda-bedakan pelanggan yang ingin membeli.

Di satun sisi membayar dengan uang tunai memang ada resikonya seperti bisa dapat uang palsu. Tapi uang palsu ada alat untuk mendeteksinya. Membayar dengan cashless juga banyak resikonya, seperti:

  • tidak ada privasi, identitas kita dan transaksi kita bisa terekam dan diketahui
  • kartu kredit/debit kita bisa disadap saat menggesek dan memasukkan PIN
  • resiko tidak bawa HP, atau HP drop sehingga tidak bisa scan QRIS
  • resiko kena biaya admin ketika mau bayar transfer bank
  • ketika hanya bawa uang cash, tidak bisa membeli padahal uangnya cukup hanya karena cafe/restonya cashless only

Tiga hal di atas adalah contoh malesnya saya ketika makan di cafe atau resto yang latah cashless atau gen-Z banget.

Hal ini juga dikarenakan pemerintah kita kurang dalam meregulasi cashless-cashless ini, seperti seharusnya pembayarah tetap bisa dilakukan secara cash. Atau restoran yang bisa pesan lewat scan QRIS harus juga menyediakan buku menu fisik dan pesan langsung sebagai alternatif. Sehingga tidak terkesan latah dan edgy.

Kira-kira bagaimana pengalaman kalian makan di resto atau cafe yang seperti ini? Bagaimana kalian menghadapinya? Silahkan tulis di kolom komentar ya.





Download aplikasi kami di Google Play Store


Tutorial Menarik Lainnya :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TWOH&Co.