Last Updated on 2 years by Mas Herdi
Saat IKEA pertama kali dibuka tahun 2014, popularitasnya tiap tahun selalu meningkat, hal itu yang membuat saya akhirnya mengunjungi IKEA di akhir tahun 2017 di Alam Sutera. Itu adalah kunjungan saya ke IKEA yang pertama kali.
Pertama Kali ke IKEA
Saat itu saya masih nge-kos di Slipi Jakarta Barat, saya ke sana naik sepeda motor bersama adik saya yang kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta. Ada salah perkiraan karena awalnya saya kira saya dekat ternyata lumayan jauh dan perlu masuk jalan2 kampung segala. Karena lokasi di Alam Sutera maka paling enak ke sana naik mobil lewat jalan tol.
Awal-awal ke sana saya cuma beli barang-barang printilan atau barang2 kecil seperti rak sepatu, terus tempat penyimpanan susun, tatakan laptop dan sikat WC. Karena waktu itu pikirnya masih nge-kost jadi belum butuh furniture-furniture yang besar-besar seperti lemari, tempat tidur, meja dan segala macam. Namun karena itu pula saya belum bisa menikmati belanja furniture yang sebenarnya di IKEA, karena kalo barang kecil kan ngerakit-nya gampang nggaK sesusah furniture gede seperti lemari, kursi dan sebagainya. Tapi dari situ saya sudah bercita-cita kalau seandainya sudah punya rumah bakal beli furniture yang benar2 furniture di IKEA.
Ke IKEA Setelah Punya Rumah
Akhirnya setelah 5 tahun kemudian, Alhamdulillah saya berhasil membeli rumah. Dan akhirnya bisa membeli beberapa furniture besar seperti lemari buku, storage bench, nakas dan sebagainya. Di sini saya melihat benar peran IKEA yang menginspirasi saya dari yang sebelumnya anak kost hingga akhirnya bisa mempunyai rumah sendiri supaya bisa merasakan pengalaman membeli furniture IKEA yang sesungguhnya (furniture-furniture besar).
IKEA juga gampang dimodifikasi, contohnya meja laptop IKEA VITTSJO seperti di gambar di kiri atas saya modifikasi dari yang awalnya top nya terbuat dari kaca, akhirnya saya ganti alasnya dengan kayu jati belanda yang lebih kokoh. Alasannya karena kaca rentan pecah apabila mejanya tersandung dan jatuh.
Dan yang lebih membantu lagi IKEA selalu mengelompokkan furniture-furniture-nya ke dalam tema / gaya yang khas. Seperti contohnya ketika kita beli barang dengan tema HEMNES kita akan mendapatkan gaya yang seragam dari berbagai macam furniture, lemari HEMNES akan terasa senada dengan tempat tidur HEMNES dan barang2 atau furniture dari tema HEMNES lainnya.
Walau begitu ada beberapa hal yang saya masih merasa kurang dari IKEA atau tidak sesuai dengan budaya Indonesia, beberapa diantaranya:
- Masih sedikit furniture yang terbuat dari solid wood
Indonesia butuh furniture yang terbuat dari solid wood karena ada beberapa daerah yang terkena banjir musiman. Dan furniture dari MDF atau kayu serbuk biasanya akan langsung rusak ketika terkena banjir. - Furniture dari kayu anti rayap masih langka
Bahkan furniture solid wood di IKEA masih terbuat dari kayu yang bukan anti-rayap, akan lebih bagus jika IKEA bisa membuat furniture dari bahan anti rayap seperti kayu jati (teakwood). - Furniture dipasang di dinding
Jujur ini males banget, saya selalu menghindari beli furniture yang musti dipasang di dinding. Sudah menjadi budaya di Indonesia jika kita suka geser-geser furniture, ganti-ganti layout terutama waktu mau lebaran atau hari raya. Ya minimal setahun sekali lah layout interior rumah diganti. - Masih terasa agak mahal
Yup terutama untuk barang-barang yang dibuat dari solid wood, ada lemari dapur harganya 9 juta. Padahal furniture buatan lokal yang dari jati 5 juta itu sudah dapat yang sangat bagus.
Kurang lebih itu saja pengalaman saya “tumbuh” bersama IKEA, dari yang awalnya ngekost cuma bisa beli barang-barang yang kecil hingga akhirnya punya rumah dan bisa merasakan beli furniture IKEA yang sesungguhnya. Untuk kekurangan IKEA semoga bisa diperbaiki ke depannya sehingga IKEA bisa menghadirkan lini furniture baru yang sesuai dengan tema dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan pengalamanmu belanja di IKEA? Seberapa jauh IKEA menginspirasimu? Silahkan share di bagian komentar ya!