Last Updated on 10 years by Mas Herdi
Kemarin saya baru saja pulang dari mencari hp di mall. Niatnya ingin beli hp Android yang low-end untuk sekadar WhatsApp, cek email dan sebagainya. Karena kebetulan hp saya yang satu, Samsung Galaxy S Advance, peninggalan bokap sejak tahun 2011 tiba-tiba tidak bisa di-charge alias rusak. Namun begitu sampai toko hp dan melihat beberapa smartphone Android mid – low end yang ada, tiba-tiba keinginan saya untuk beli hp baru langsung kandas… Betapa tidak, hampir semua smartphone yang ada serupa satu sama lain, entah itu Acer, Samsung, Lenovo, Oppo maupun LG, maksudnya hampir semuanya Dual-SIM, OS Android KitKat, RAM 512 – 1 GB, dan lain sebagainya. Variasinya hanya ada pada peletakan tombol on-off dan volume, ada yang diletakkan di samping, ada yang di belakang, dan ada yang di atas, serta pada kustomisasi Android OS, ada beberapa produsen yang mengkustomisasi OS Androidnya dengan bagus dan rapi, ada juga yang hanya sekadar ganti logo dan warna tema, karena saya kebetulan lebih suka Android yang stock ROM asli (seperti Nexus, Moto X, dsb), maka produsen yang asal-asalan mengkustomisasi ROM Android jadi terkesan ROM buatannya sekadar rip-off dari stock ROM Android asli dan terasa sangat tidak menarik untuk dipandang dan digunakan.
Hal itu membuat saya sadar, bahwa sepertinya tidak ada hal yang baru di dunia Android, atau smartphone pada umumnya. Kecuali kalian menyasar kelas high-end yang tentunya selalu ditanamkan latest technology pada setiap keluaran terbarunya, itupun juga tidak akan bertahan lama, karena setiap 2 tahun pasti teknologi yang lama akan obsolete dan digantikan dengan yang baru. Saya juga merasa heran ketika banyak teman-teman yang langsung berganti hp ketika ada model baru keluar, seperti Sony, Nexus, Samsung, atau iPhone. Memang, itu semua juga diakibatkan oleh bombardir iklan-iklan smartphone baru tersebut. Mereka berlomba-lomba menghiasi papan-papan iklan di seluruh penjuru kota, memenuhi layar kaca kita, dan entah bagaimana mereka mengemasnya, tapi sungguh, apa yang mereka iklankan seringkali membuat kita benar-benar terbius dalam fantasi teknologi baru yang begitu indah.
Tapi…
Coba tengok lima tahun kebelakang, tahun 2010. Hidup sebelum ada iPhone 6, atau Galaxy Note Edge (atau sebelum ada ponsel) tidaklah begitu buruk. I was happy with my own first Blackberry devices. Kita masih bisa survive tanpa harus setiap detik melihat update status Facebook dan timeline Path. Kita tak pernah mengecek email sampai nanti tiba di kantor. Kita mungkin tak bisa mencari restoran mana yang terdekat dengan posisi kita, tapi toh kita masih bisa makan. Life was good.
Apakah dengan selalu stay-up-to-date dengan trend terbaru akan membuat kita bahagia? Apakah dengan pre-order iPhone 6, atau membeli Apple Watch seharga US$1000 akan membuat kita bahagia? Barangkali untuk sesaat iya, kita akan merasa bahagia memiliki barang yang sedang hype. Namun untuk selanjutnya benda-benda itu pada akhirnya hanya akan menjadi tools biasa, karena kebahagiaan dan nilai-nilai lain dalam hidup kita sesungguhnya didapatkan dari experience yang kita alami. Bukan dari hal-hal yang bersifat materialistik.
The Experience Economy
Hmm, maksudnya bagaimana? Begini, ketika saya membeli sesuatu, maka biasanya saya akan menggolongkannya ke dalam empat kategori berikut :
- Barang yang nilainya akan berkurang seiring waktu, yaitu barang-barang sekunder, seperti motor, laptop, buku, dan benar, segala gadget atau smartphone yang kita miliki.
- Barang yang nilainya akan bertambah seiring waktu, yaitu masuk ke dalam ranah investasi, tidak hanya emas, atau saham. Namun juga bisa berupa nama domain unik 🙂
- Barang pokok, seperti makanan, baju, sepatu dan sebagainya. Kita tidak membeli karena nilai, tapi karena kita butuh untuk kehidupan sehari-hari.
- Experience, yeah, karena “pengalaman” bisa dibeli 🙂
Experience Economy (saya tidak tahu bahasa Indonesianya) baru diperkenalkan beberapa tahun terakhir oleh generasi millennials (2000 – ke atas), menurut saya konsepnya cukup menarik karena sesuai dengan cara pandang saya dan saya rasa konsep ini harus mulai gencar disebarluaskan di generasi yang mulai mati rasa seperti sekarang, ha ha ha. Well, saya bukan orang ekonomi, jadi saya tidak bisa menjelaskan Economy Experience secara panjang lebar, tapi garis besarnya adalah sebagai berikut.
Bayangkan
Anna senang bermain ski, dan dia melihat sepatu ski model baru seharga US$599. Dia ingin sekali membelinya. Namun di satu sisi, dia ingin sekali pergi ke ski resort baru yang terletak cukup jauh dari rumahnya, dan uang sebesar itu bisa dia gunakan untuk ongkos perjalanan dan biaya bermain ski di resort baru tersebut.
Andaikan kamu jadi Anna, mana yang akan kamu pilih? Sepatu ski baru, atau pengalaman bermain ski di resort baru?
Untungnya Anna memilih membelanjakan uangnya untuk sebuah “pengalaman” bermain ski di resort baru, karena dengan memilih itu, Anna akan mendapatkan hal-hal berikut :
Excitement,
Anna merasa senang sekali sehari sebelum dia berangkat. Dia membayangkan perjalanan yang akan dia tempuh besok, dan bermain ski bersama teman-temannya di resort baru. Pasti sangat menyenangkan.
Satisfaction,
Ketika Anna sudah sampai, dia merasa gembira sekali karena resort tersebut jauh lebih bagus, dia pun puas bermain bersama teman-temannya.
Memories to Remember…
Dalam perjalanan pulang, Anna melihat-lihat foto dan rekaman video dia dan teman-temannya di tempat ski baru tadi. Dia merasa senang, pengalaman tersebut memberikan dia kenangan yang indah… yang bisa diingat-ingat kapanpun dia mau.
Andaikan Anna memilih untuk membeli sepatu ski baru, maka hanya sepatu itulah yang Anna dapatkan. Dia akan tetap bermain ski di tempat yang sama, seperti tahun lalu, dan tidak ada pengalaman baru yang akan dia dapatkan.
Dalam prateknya, economy experience ini bisa juga diterapkan pada branding suatu produk maupun jasa. Misalnya kenapa orang lebih suka ngopi di Starbucks daripada di tempat lain, yang ternyata karena Starbucks menawarkan pengalaman minum kopi yang berbeda dan lebih disukai orang dibandingkan di tempat lain.
Begitulah the power of economy experience, dan alih-alih membeli hp Android low-end baru yang begitu-begitu saja. Saya akan menggunakan hp yang ada sekarang dengan lebih baik dan efektif. Dan menggunakan uangnya untuk kegiatan yang bisa menambah pengalaman, seperti berwisata, melakukan hal-hal baru, berkunjung ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi, mengikuti training… dan banyak lagi. Mari keluarlah dari dunia 5-inch, yang ternyata tidak terlalu luas.
Referensi :
*) Hidup Dalam Fantasi http://nofieiman.com/hidup-dalam-fantasi/
*) http://www.businessinsider.co.id/millennials-experience-economy-2014-9/#.VSQHkvmUdqI
*) http://wps.fep.up.pt/wps/wp481.pdf
coba Android One dari nexian bro,, itu OS nya pure Android 5.0
iya bro, tapi hubungannya sama artikel ini apa ya o.O