Last Updated on 12 years by Mas Herdi
Setiap pagi hari, tepat sehabis kami selesai sarapan di rumah. Kami selalu mendengarkan suara renyah dari mulut wanita lanjut usia yang mengajak mendiskusikan semua hal-hal yang terjadi baru-baru ini. Mulai dari konflik Suriah, hingga tarian gangnam style yang populer lewat situs YouTube.
Wanita tua tersebut tidak lain adalah nenekku. Di saat kebanyakan orang-orang lanjut usia yang berusia di atas 80 tahun sudah kehilangan semangatnya untuk mempelajari hal-hal baru. Nenekku setiap pagi dengan tekun selalu membaca surat kabar di teras depan rumah. Kadang sampai begitu lamanya hingga kami harus memperingatkan beliau untuk istirahat supaya tidak lelah. Namun nenek selalu mebantah peringatan kami, beliau beralasan sambil tersenyum, “Nenek malah jadi tambah sehat ketika membaca koran.”
Keingintahuan ada kalanya tidak pandang usia, begitu juga dengan semangat belajar, dan mungkin juga semangat mengajar. Seperti yang ada pada diri nenekku.
Nenekku adalah mantan guru, beliau guru tiga jaman. Beliau mengajar di jaman penjajahan Belanda, di jaman penjajahan Jepang, hingga jaman setelah proklamasi kemerdekaan negeri ini dikumandangkan. Sekolah tempat beliau mengajar terletak di daerah Purwodadi, Jawa Tengah. Sekolah sederhana dengan atap jerami dan dinding papan.
Nenekku adalah guru sejati, pejuang tak kenal lelah, dan pahlawan tanpa tanda jasa. Jangan kalian bayangkan sarana dan prasarana pendidikan pada jaman penjajahan dahulu memadai. Bangunan sekolah yang seadanya, dan jumlah guru yang terbatas. Walau begitu pendidikan pada saat itu adalah hal mewah. Boleh dikata pada waktu itu hanya orang-orang beruntung dan golongan ningrat saja yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah. Tidak semua orang Indonesia bisa merasakan sinar-sinar ilmu yang agung masuk menyinari pikiran mereka, memberikan secercah harapan bagi pikiran yang penat memikirkan kehidupan masa kolonial yang serba susah.
Nenekku memberikan cahaya ilmu kepada anak-anak Indonesia. Beliau mengajarkan bahwa ilmu adalah harapan, harapan untuk meraih masa depan yang lebih baik, untuk meraih kemerdekaan dan untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan. Cahaya ilmu yang agung itu masuk ke dalam tubuh-tubuh kurus yang penuh luka koreng, hanya berpakaian karung goni dan tidak memakai alas kaki, bagaikan sebuah tenaga gaib yang mengalir pada nadi mereka, yang membuat mereka pantang menyerah untuk belajar demi masa depan bangsa ini.
Belakangan santer terdengar isu guru yang mengeluarkan muridnya dari sekolah dikarenakan muridnya tersebut terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak terpuji. Andai kalian tahu, ada beberapa sifat yang mutlak harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi guru. Pada masa-masa nenekku mengajar, beliau selalu ditugaskan untuk mengajar kelas satu. Karena nenekku adalah guru yang memiliki sifat-sifat itu. Nenekku konon guru paling sabar dan penyayang.
Walau mengajar murid-murid kelas satu pada masa penjajahan dengan kondisi yang sangat kurang. Nenekku berani memasang target bahwa semua murid harus bisa membaca semenjak kelas satu. Beliau selalu berbuat banyak untuk murid-muridnya.
Beliau tidak pernah meninggalkan murid-murid dalam kondisi sengsara atau menderita. Baju-baju muridnya yang sobek dijahitkan oleh beliau. Anak-anak yang korengan diobati menggunakan Pagoda Salep. Beberapa murid kelas satu yang masih rewel beliau pangku dengan penuh kasih sayang. Semua itu dilakukan tanpa pamrih, karena beliau sadar bahwa anak-anak ini nantinya yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Anak-anak ini yang siapa tahu akan berperan besar dalam kebangkitan negeri Indonesia. Karena itu beliau memperlakukan tiap-tiap dari mereka dengan penuh kasih sayang.
Dedikasi nenekku sebagai seorang guru, tidak berhenti sampai di situ. Konon suami nenekku pada waktu itu meminta beliau untuk berhenti mengajar. Berhenti mengajar berarti berhenti menjadi seorang guru. Pekerjaan yang sudah menjadi jiwa beliau, pekerjaan yang sudah digelutinya dengan sepenuh hati. Akhirnya, nenekku tidak bisa meninggalkan pekerjaan menjadi guru tersebut. Dan memilih untuk bercerai dengan suaminya. Dedikasi beliau terhadap pendidikan sangat tinggi, sesuai dengan cita-citanya untuk mencetak generasi penerus bangsa yang tangguh dan handal.
Bagi kami, nenek menjadi symbol semangat mengajar yang pantang menyerah. Tidak peduli bagaimana kondisi bangsa ini, tidak peduli siapa yang diajar beliau. Siapapun berhak memperoleh pendidikan, entah itu mantan penjahat, anak-anak kurang mampu, anak-anak berandalan, tukang becak, atau siapapun. Karena pendidikan adalah pencerahan. Jiwa-jiwa yang berilmu adalah jiwa yang mulia. Dan tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Dengan ilmulah kita bisa membawa bangsa ini lebih maju. Dengan pendidikanlah kita bisa membawa Negara ini ke era kebangkitan dan menempatkannya sejajar dengan Negara-negara yang lebih maju. Ilmu bagaikan cahaya penerang, yang menuntun kita keluar dari kegelapan.
Sampai saat ini pun, nenek masih mengajari kami ketika kami bertanya tentang soal-soal bahasa Jawa. Beliau sangat ahli dalam aksara Jawa. Atau ketika kami bertanya tentang sejarah, beliau sangat suka bercerita tentang masa-masa penjajahan Jepang. Dimana setiap pagi rakyat Indonesia disuruh membungkuk ke arah timur untuk menghormati dewa matahari, dan banyak hal lainnya. Mendengarnya kami menjadi bersyukur bahwa bangsa ini telah merdeka. Namun di satu sisi kami juga merasa sedih karena masih banyak anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Dan beberapa diantara mereka bahkan tidak punya tempat untuk bersekolah. Semoga di negeri ini muncul banyak guru-guru yang seperti nenekku, yang mendidik tanpa rasa pamrih, dimanapun dan kapanpun. Yang rela berkorban demi anak-anak generasi penerus bangsa. Yang rela berpeluh keringat demi kebangkitan bangsa ini.
Nenekku, Guruku, Pahlawanku
Diambil dari kisah nyata nenek kami, Ibu Soemijatoen.
Hidup Nenek eh pahlawan ding.
keren banget nih nenek, gimana anak anaknya oke juga kah?