Last Updated on 11 months by Mas Herdi
Sebelum social media, ketika ada orang yang tidak senang entah itu dengan orang lain atau dengan sesuatu, basically pilihan mereka terbatas. Antara ngomong langsung, curhat ke teman, atau diam saja.
Sekarang pilihannya sangat beragam, mute story, block, delete contact, deactivate socmed, delete profile picture, sampai nge-cancel.
Ada juga yang bilang kalau seperti itu dewasa, minimalizing distraction, acknowlegde feeling, self-love dan sebagainya.
But should it be the way?
Aku yang Sejati
Apa bedanya kita dengan anak umur 5 tahun?
Anak 5 tahun punya permen kamu rampas, pasti dia akan menangis sejadi-jadinya, seakan-akan dunianya hancur, sedih hingga menusuk ke sanubari.
Tapi kalau kita, kadang kita simpen makanan di kulkas buat nanti, tapi dimakan orang lain. Atau kelupaan sampai kadaluarsa. Most of us kebanyakan akan brush it off. Yaelah bisa beli lagi.
Along time “permen” itu bisa berubah menjadi apapun, harta, keluarga, mimpi2 kita, waktu kita, hal2 yang kita anggap berharga, even nyawa kita. Dan to be fair, semua itu bisa hilang atau diambil sewaktu-waktu. Saat itulah kita dihadapkan kepada pilihan, should I cry havoc like 5 years old. Atau ada cara lain dalam meresponnya?
Dimasukkan ke Hati
Banyak orang langsung act upon their emotion, ketika ada trigger. Gila orang ini flexing banget, block. Pendapatnya ga sejalan ama gw, mute. Aneh banget sih jadi orang, delete contact. Temen2 udah pada sukses, gw gini2 aja, deactivate soc med. That means they put their heart up front. Yang menjadi tameng buat menghadapi gempuran2 itu adalah hatinya, ya pasti hati yang akan jadi korban. Hati yang bakal jadi sakit, perasaan kita tersakiti hingga kita membenarkan hal2 itu. Padahal yang seharusnya kita jadikan perisai adalah…
Logic and Reasoning
Try apply logic before emotion. Saya percaya, andaikan ada dua orang di situasi yang sama, status yang sama, koneksi yang sama, outcome nya pasti berbeda. Misal kamu memiliki semua yang dipunya Nadiem, belum tentu the outcome is NGojek. Bisa saja kamu gagal, bisa saja kamu lebih sukses. Itu semua depens on how you respond. How your thought process, karena kalau logikamu tidak benar dalam merespon masalah, maka hatimu yang akan kena direct hit, hatimu yang akan jadi korban.
The Observing Me
Bagian ini adalah level berikutnya dari mengaplikasikan logika dan reasoning saat menghadapi trigger masalah.
Yaitu dengan mencoba detach dari apa yang kita rasakan, dan menjadi pengamat.
Pengamat yang mengamati apa yang terjadi, apa yang kita rasakan.
- Oh ternyata aku lagi marah.
- Look I’m jealous again.
- Lapar, haus, sedih, senang, dan sensasi lainnya
Lama kelamaan kita akan faham, bahwa sesungguhnya bukan “Aku” yang merasakan semua itu. Tapi jasad kita yang merasakan, badan kita, jasad yang “Aku” miliki.
I am just merely observing.
Inilah Aku yang sejati.
Realisasi ini jugalah yang mendasari opini terkenal dari Victor Frankl,
“Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one’s attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way.”
Nazi bisa menyiksa tubuhku, melukai perasaanku. Tapi aku tetap bisa punya pilihan, pilihan untuk merasa menderita atas semua itu atau tidak.
Pilihan untuk me-Rasa.
That escalated quickly🙂 Ngeteh dulu supaya kalem.
The Last of Our Control
Ketika kita sudah bisa mengerti dan menjalani hakekat aku yang sejati, kita akan mulai mengerti alasan dibalik banyak hal. Contoh yang agak kompleks seperti, ketika kita nanti mati, apanya yang mati? Aku? Bukan, yang mati hanyalah badan kita. Raga kita. Sedangkan Aku abadi, hanya akan melanjutkan ke proses dan tahap selanjutnya.
- Lha orang kita ngga pingin lahir, tapi kok lahir?
- Kita ngga pingin tua, tapi ya nanti jadi tua
- Kita ngga pingin mati, tapi ya nanti mati
- Setelah mati… banyak dari kita yang juga ngga pingin ke tahap selanjutnya, dan lantas denial menjadi Atheist. Tapi ya seperti proses2 sebelumnya, suka ga suka ya itulah yang akan di-tempuh
Itu contoh kompleksnya, jangan terlalu dipikirin tapi ya diingat saja.
The Last of Our Control pt.2
Contoh simpelnya, ketika kita sudah ditahap sebagai pengamat. Saat kita merasakan sesuatu, kalau itu emosi negatif jadikan positif. Ketika itu emosi positif, gimana supaya kita tidak carried away with that dan tetap eling lan waspodo.
- Oh ternyata aku lagi marah. Instead of marah, apa yg lebih baik?
- Look I’m jealous again. Instead of langsung nuduh, perhaps try to understand the reason?
- Temen gua keren banget, gua insecure shit lah gua mute aja doi! Instead of insecure, why not happy for them? Why not understand that nobody have it all and they might suffers in silence but we dont know?
Ini bukan berarti kita tidak boleh act upon our emotion, secara refleks ada hal2 tertentu yang membuat emosi kita langsung spontan, dan itu manusiawi. Namun in general, sebelum act upon our emotion. Observe it first, apply logic and reasoning. Then Act if its Valid and Necessary.
Semua orang secara mendasar punya sense yang sama, attitude yang similar. Tapi logika dan kedewasaan yang membuat kekuatan hatinya berbeda-beda.
Dan pengalaman, achievement, downfall seharusnya membuat kita lebih kuat. Kalau pengalaman membuat kamu menjadi lemah, bitter, pesimis. Perhaps you took the wrong Path.