Transjakarta Busway : The Good and The Bad

Last Updated on 11 years by Mas Herdi

Bagi saya yang baru saja pindah ke Jakarta sekitar delapan bulan yang lalu, Transjakarta Busway menjadi solusi transportasi andalan ketika ingin bepergian. Hal ini dikarenakan moda transportasi yang sudah di-deploy sejak 10 tahun silam menjanjikan fasilitas yang lebih unggul dibandingkan angkutan umum lainnya. Seperti armada ber-AC, halte dan rute jelas, dan tarif yang terjangkau. Transjakarta yang mempunyai jalur lintasan BRT (Bus Rapid Transpit) terpanjang di planet Earth juga memudahkan saya untuk menjelajahi pelosok, pelosok Jakarta. Jauh bila dibandingkan saat saya tinggal di Bandung yang jarang sekali naik angkutan umum, sehingga baru hafal kota Bandung setelah 2-3 tahun tinggal di sana. Di Jakarta, tempat-tempat penting sudah bisa saya hafalkan hanya dalam waktu 1-2 bulan (karena sering main juga), all thanks to Transjakarta Busway.

Saya barangkali termasuk frequent user, bagaimana tidak tiap hari pagi dan sore saya menggunakan Busway untuk berangkat dan pulang ke kantor, dari tempat tinggal saya yang berada di Tendean (saya biasa naik dari halte Mampang Prapatan) ke kantor saat ini yang berada di Pejaten.

Untungnya lagi, rute saya melawan arus. Yeah, melawan arus. Saya jadi ingat teman-teman saya yang sewaktu kuliah mengutarakan keinginannya untuk ogah gawe di Jakarta, karena macet dan sebagainya, yang untungnya jika kalian cukup pintar untuk malas menghadapi kemacetan dan keruwetan Jakarta, kalian bisa membuat solusi anti macet yang dijamin berhasil 100%. Setiap pagi berangkat kantor saya melihat padatnya trafik dari arah Mampang ke Kuningan dari dalam busway yang terkadang hampir kosong, karena melaju di lajur sebelah. Begitupun saat pulang kerja para labour force beramai-ramai pulang dari tempat kerjanya di Kuningan dan Sudirman lewat Mampang terus ke arah selatan, saya bersama beberapa orang beruntung lainnya menikmati trafik yang tidak begitu padat karena melawan arus (Mampang ke Kuningan). Saat orang berbondong-bondong ke Kuningan, saya meninggalkan Kuningan. Saat orang berbondong-bondong meninggalkan Kuningan untuk pulang, saya justru menuju ke arah Kuningan dengan tujuan yang sama. Kadang saya bercanda dengan beberapa teman soal orang-orang yang suka mengeluh kena macet, “Orang macetnya bareng-bareng, kecuali kalo macetnya sendirian. Baru boleh ngeluh.” Atau, “People often complains that they’re stuck in the traffic. Yet, they are the traffic.”

Walaupun begitu, saya rasakan Busway belum menjadi angkutan yang efektif dan efisien. Dikarenakan beberapa hal yang sebenarnya kecil, tapi dampaknya besar.

Kopaja

Kebetulan rute reguler saya ditumpangi oleh moda angkutan umum lain yaitu Kopaja Executive AC. Saya sendiri sampai saat ini belum pernah naik angkutan tersebut, dikarenakan walaupun ber-AC, first impression-nya sudah buruk di mata saya. Seperti suka ngetem, kernet yang sepertinya selevel dengan kernet Kopaja biasa hanya menggunakan seragam. Bahkan saya meragukan apakah pintu otomatisnya masih bisa berfungsi menutup secara otomatis, karena terkadang masih terlihat kernet yang gandulan di pintu Kopaja. Namun, ternyata kebiasaan jelek yang sering dilakukan Kopaja, bisa menjadi satu keunggulan di Busway. Karena Busway hampir tidak pernah ngetem.

Yeah, Busway hampir tidak pernah ngetem. Bus-bus tersebut hanya berhenti di halte untuk menaikturunkan penumpang dan kemudian pergi lagi. Hal ini diperparah dengan seringnya Busway yang datang beriringan, terkadang hingga 3 sampai 4 armada sekaligus yang datang dalam jangka waktu kurang dari 5 menit. Sehingga bus pertama terisi penuh, bus kedua setengah penuh, dan bus ketiga atau keempat hampir bisa dipastikan kosong. Atau paling tidak berisikan satu dua penumpang.

Seringkali saya ketika sedang menaiki tangga halte Busway, melihat tiga armada Busway yang melewati halte begitu saja. Sehingga penumpang yang terlambat seperti saya sampai di halte Busway dengan perasaan kecewa (haha), karena harus menunggu armada selanjutnya yang entah kapan datangnya.

Jika memang tidak ada mekanisme ngetem, paling tidak ada jeda setiap kedatangan dan kepergian Busway, jangan tiga Busway datang sekaligus, yang satu berhenti dan dua yang lainnya cuma buka tutup pintu saja di halte. Atau jika bisa diperlakukan sistem ngetem paling tidak selama 3-5 menit, supaya penumpang yang terlambat datang masih bisa naik dan Busway tidak jalan dalam keadaan kosong.

Namun hal ini mungkin juga hanya ditemui di koridor yang sering saya lewati, yang jalurnya relatif pendek antara Mampang – Ragunan. Karena ketika saya naik dari koridor Kuningan Timur – Sudirman – Central Park, jarang ditemui Busway penyelonong 😀 yang langsung datang tiga sekaligus.





Download aplikasi kami di Google Play Store


Tutorial Menarik Lainnya :

One Response
  1. yantyo April 18, 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TWOH&Co.