Last Updated on 12 years by Mas Herdi
Keanehan yang lain adalah ketika dia melihat orang Indonesia yang gemar mengatakan ‘macet’ sebagai alasan. Walau terlambat berpuluh-puluh menit, setibanya di kantor kata pertama yang terucap adalah ‘macet’. Dan kemudian temannya pun cuma menimpali, ‘oh begitu’. Dari kacamata orang Jepang yang selalu tepat waktu, hal ini sangatlah aneh dan baginya alasan itu tentu tidak dapat diterima. Namun orang Indonesia bisa menerimanya dengan baik. Itu juga yang kemudian mengingatkannya pada realitas di Jepang dimana ada 30.000 orang bunuh diri setiap tahunnya, yang mungkin disebabkan oleh kurang bisanya memaafkan atau menerima kesalahan orang lain.
‘Tidak apa-apa’ dan ‘bagaimana nanti’
Saya bisa memahami kalau KATO-san yang seorang Jepang merasa sangat sulit beradaptasi dengan kebiasaan Indonesia yang tidak menepati waktu dan kurang teliti. Seperti yang ditulis pada bukunya, banyak hal yang baginya ‘apa-apa’ namun bagi orang Indonesia adalah ‘tidak apa-apa’. Contohnya mengomentari teman yang tidak menepati janji, bis yang terlambat datang, dan customer service saat menangani internet yang bermasalah. Pernah dia kaget ketika mendengar butuh waktu empat hari untuk memperbaiki modemnya. Customer service seakan-akan bersikap ‘tidak apa-apa’ terhadap masalah yang dialami KATO-san. Dan hal ini membuatnya perlu melatih ‘kesabaran’ untuk berhadapan dengan orang Indonesia.
Ada lagi sikap orang Indonesia yang cenderung ‘bagaimana nanti’ terkesan menunda-nunda, berbeda dengan orang Jepang yang justru, ‘kalau tidak dikerjakan sekarang, nanti bagaimana?’ Hal ini dialaminya ketika mempersiapkan susunan acara sebuah seminar, ketika mengajak diskusi seorang pengajar tentang susunan acara. Si pengajar malah berkata, ‘nanti saja’, atau ‘kita lihat dulu’. Di sini terlihat bahwa melakukan sesuatu tanpa merencanakannya dengan rinci terlebih dahulu merupakan ciri khas orang Indonesia. Namun yang membuatnya tertarik, bahwa memang kita dirugikan dengan sikap, ‘tidak apa-apa’, tetapi kita juga bisa balik mengatakan ‘tidak apa-apa’ kepada lawan bicara dan kita pun akan dimaafkan.
Sekembalinya di Jepang, KATO-san juga menulis bahwa setelah sekian lama terbiasa dengan Indonesia dia malah mengalami culture shock. Susunan acara seminar di Jepang sangat tepat waktu, seperti misal pembukaan jam 07.00, kemudian pembacaan MC selesai pada pukul 07.03. Juga saat kereta terlambat 1 menit saja announcer langsung mengumumkan permohonan maaf dengan kata-kata ‘maaf menyusahkan’. Hal yang sangat berbeda dengan Indonesia.
Renungan untuk orang Indonesia
Ketika membaca buku ini, saya merasa lucu. Melihat bagaimana budaya kita dipandang lewat perspektif bangsa maju. Kadang ada hal-hal yang membuat saya ingin tertawa namun juga sekaligus sedih. Jika KATO-san mungkin merasa hal-hal tidak menepati waktu, dan menunda-nunda bangsa Indonesia adalah sesuatu yang unik dan menunjukkan sikap lapang dada bangsa Indonesia. Saya malah merasa bahwa sikap-sikap seperti itu memang suatu penyakit yang harus diubah oleh bangsa saya. Dan justru kita harus meniru bangsa Jepang yang selalu menepati janji dan disiplin. Saya ingin mengutip kata-kata terakhir KATO-san di bukunya, ‘kalau bisa seperti itu bagus, tapi kalau tidak bisa ya tidak apa-apa.’
iseng iseng pagi pagi baca artikel gk sengaja mbaca awalnya aja eh malah keterusan haha 😀
edukatif sekali makasih mas udah menginspirasi pagi ini hihi